22 Oktober 2024

Ungkap Kebenaran, Ahli Waris Surati Beberapa Instansi Untuk Batalkan Sertifikat Indogrosir di Makassar

0

Jawapossmks.com-AHLI waris tanah Almarhum Tjoddo, Abd Jalali Dg Nai, terus berupaya merebut kembali tanah warisan di Kilometer 18, Jalan Perintis Kemerdekaan, Makassar, Sulawesi Selatan. 

Senin [21/8] pagi, Dg Nai datang ke Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi [KPK] di Kuningan, Jakarta Selatan. 

Kedatangan bapak empat anak ini, adalah untuk menyerahkan surat tembusan, terkait bukti kepemilikan atas tanah warisannya itu, yang sejak 2014 diduduki paksa oleh PT Inti Cakrawala Citra [ICC]. 

Terhitung sejak waktu itu pula, PT ICC mendirikan bangunan Indogrosir di atas tanah itu. Padahal, surat  yang digunakan PT ICC untuk menguasai tanah itu, diklaim oleh Dg Nai, adalah surat palsu.

Lewat surat tembusan itu, Dg Nai berharap ada pembatalan atas surat bukti kepemilikan tanah di Kilometer 18 yang dipegang PT ICC tersebut. 

Sebab, sebagaimana diutarakan oleh Dg Nai, klaim “palsu” atas surat kepemilikan tanah yang kini dipegang PT ICC itu, bisa dibuktikan secara hukum dan ada fakta sejarahnya. 

Bila merunut jauh ke belakang, yakni ke sekitar tahun 1990, tanah di Kilometer 18 itu pertama kali diduduki paksa oleh Haji Andi Mattoreang, alias Karaeng Ramma, dengan berbekal Surat Rintjik [Simana Boetaja] Nomor 157 Persil 6 D I Kohir 51 C I, atas nama ayahnya, Tjonra Karaeng Tola. 

Sejatinya, tanah seluas 6,45 hektar di Persil 6 D I memang tercatat atas nama Almarhum Tjoddo. 

Namun, Kohir 51 C I tercatat atas nama perempuan bernama Sia di Kilometer 17. Kedua surat dari lokasi berbeda itu kemudian direkayasa  oleh Karaeng Ramma, guna melahirkan Surat Rintjik [Simana Boetaja] Nomor 157 Persil 6 D I Kohir 51 C I atas nama ayahnya, Tjonra Karaeng Tola, dan didudukkan paksa di tanah Kilometer 18 milik ahli waris Almarhum Tjoddo.

Pendudukan paksa atas tanah Kilometer 18 itu, kemudian dilakukan pula oleh tiga serangkai: Doktor Andreas Asikin Natanegara, Reza Ali, dan Achmad Reza Ali. 

Dengan menggunakan SHM 490/1984 Bulurokeng atas nama Annie Gretha Warow, ketiganya membangun paksa 281 unit rumah dalam sebuah kompleks perumahan di tanah Kilometer 18, milik ahli waris Almarhum Tjoddo.
 
Pendudukan paksa oleh Doktor Andreas Asikin Natanegara, Reza Ali, dan Achmad Reza Ali inilah yang kemudian digugat oleh Karaeng Ramma, pelaku perampasan paksa pertama atas tanah di Kilometer 18. 

Gugatan pertama dimenangkan Karaeng Ramma, mulai dari tingkat Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung. 
Selanjutnya, muncul gugatan kedua, kali ini dari Reza Ali terhadap Karaeng Ramma. 

Hasilnya, lagi-lagi Karaeng Ramma yang dimenangkan Hakim, mulai dari Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung. 

Status sebagai “pemenang” di Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung ini, juga diperoleh Karaeng Ramma, saat digugat untuk ketiga kalinya oleh Achmad Reza Ali. 

Pihak terakhir ini kemudian menuntaskan “dahaga”-nya selaku pihak yang selalu kalah dalam sengketa tanah di Kilometer 18, dengan melaporkan secara pidana Keluarga Tjonra Karaeng Tola ke polisi. 

Keluarga tersebut dilaporkan telah membuat dan menggunakan Surat Rintjik palsu, untuk menduduki tanah di Kilometer 18. 

Sesuai Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti Dokumen, Nomor Lab: 25/DTF/2001,yang diterbitkan Laboratorium Forensik Cabang Makassar pada November 2008, Surat Rintjik Nomor 157 Persil 6 D I Kohir 51 C I itu dinyatakan: “tidak sesuai dengan jenis kertas dan tinta penerbitan surat rintjik tersebut, yakni pada tahun 1936.

Atas dasar bukti “palsu” tersebut, maka pada 22 November 2010, terbit Surat Putusan No. 783/Pid.B/2001/PN.MKS tanggal 19 Desember 2005, dan Bukti Putusan No. 25/Pid.B/2010/PN MKS tanggal 29 November 2010 dari Majelis Hakim Pengadilan Negeri Makassar. 

Dalam surat putusan itu,majelis hakim menjatuhkan vonis hukuman penjara kepada anggota keluarga Tjonra Karaeng Tola. Salah satunya adalah M. Idrus Mattoreang. 

Namun demikian, walau vonis sudah jatuh, dan hukuman telah dijalankan, faktanya: Surat Rintjik Persil 6 D I Kohir 51 C I, yang sudah diputuskan palsu itu, tetap “hidup”. 

Nasib baik serupa juga dialami SHM 490/1984 Bulurokeng atas nama Annie Gretha Warouw dari Kilometer 20. 

Padahal, berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Ujung Pandang Nomor 86/PDT/G.97/PN.UP, tanggal 9 Mei 1993, SHM 490/1984 atas nama Annie Gretha Warow itu, sebetulnya telah resmi dibatalkan, karena terbukti digunakan di lokasi yang bukan peruntukkannya di Kilometer 18. 

Pembatalan itu ditindak-lanjuti Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia,  Kantor Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan, dengan menarik sertifikat tersebut dari peredaran, pada 16 April 2015.

Namun , walau nyata-nyata sudah “mati”, nama pemegang SHM 490 ini, yakni Annie Gretha Warouw, juga terbukti tetap “hidup”. 

Nama itulah yang tertulis sebagai pemegang hak atas tanah seluas 29.321 meter persegi di SHM 25952, terbitan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota Makassar, tanggal 21 Agustus 2014. 

Tertulis sebagai “Penunjuk” di SHM 25952 itu, adalah “Sebidang Tanah Bekas Tanah Milik Indonesia Persil Nomor 6 D1, Kohir 51 C1”. Padahal, Persil 6 D1 adalah milik Tjoddo, dan Kohir 51 C1 adalah milik Sia.

Kurang dari satu tahun setelah terbitnya SHM 25952, yakni pada 13 April 2015, Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota Makassar kembali menerbitkan SHGB  21970, dengan luas tanah 29.321 meter persegi, atas nama M. Idrus Mattoreang dkk. 

Penunjuk yang tertera di SHGB Nomor 21970 ini, adalah SHM Nomor 25952 [Bekas Hak Milik Nomor 490/Bulurokeng]. 

Dan, tepat satu tahun setelah terbitnya SHGB 21970 ini, yakni pada 13 April 2016, Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota Makassar kembali menerbitkan SHGB dengan nomor yang sama, yakni 21970. SHGB 21970 terbitan 13 April 2016 inilah yang kemudian disebut oleh Legal Manager PT ICC, Inriwan Widiarja, SH, sebagai bukti kepemilikan dalam transaksi jual beli tanah Kilometer 18 antara PT ICC dan keluarga ahli waris Tjonra Karaeng Tola. 

Inriwan terkesan benar telah mengesampingkan bukti-bukti yuridis atas hak kepemilikan sesungguhnya atas tanah di Kilometer 18 itu. 

Bahwa tanah tersebut adalah milik Almarhum Tjoddo, yang lepas dari penguasaan ahli warisnya berkat pendudukan paksa Surat Rintjik Kohir 51 C I dari Kilometer 17 dan SHM 490 dari Kilometer 20.

Atas dasar fakta-fakta yuridis itu, maka sangatlah wajar, bila Abd Jalali Dg Nai berkali-kali melakukan aksi penutupan akses masuk ke lahan yang kini berdiri bangunan Indogrosir. 
Amatlah-sangat wajar pula, bila ahli waris tanah Almarhum Tjoddo itu kemudian bertekad untuk mati di tanah miliknya itu. 

Sebab, Dg Nai adalah pemilik sah atas tanah warisan di Kilometer 18 itu, yang terusir paksa akibat ulah para mafia tanah, yang kemudian menjual  tanah itu kepada PT ICC.

Tinggalkan Balasan